KAB - Unsur-unsur Kebudayaan Mempengaruhi Persepsi, Keyakinan, Sikap, Pandangan Dunia dan Organisasi Sosial
Satu hal yang mendapat porsi besar dalam keluarga adalah masalah ibadah. Mungkin itu sejak saya lahir hingga sekarang, yang saya ingat sehari setelah saya berumur 10 tahun, ibu angkat gagang sapu kalo saya tidak segera sholat tepat waktu. Saya juga lupa pada umur berapa saya diwajibkan sholat 5 waktu dengan “berjamaah di masjid”. Kalau dulu cuma sholat jamaah tepat waktu di rumah saja.
Sampai sekarang pun kalau saya telat sholat jamaah ibu marah habis-habisan. Semisal, saya kan susah untuk tidur sore (dibawah jam 11; mungkin saya sedikit insomnia atau mungkin memang terbiasa seperti itu. Saya sudah pernah bilang ke ibu bahwa saya susah tidur. Kalaupun saya berusaha tidur dengan memejamkan mata terlebih dahulu, mungkin sejaman baru saya bisa tidur. Hal itu mengakibatkan saya susah bangun pagi dan akhirnya saya terlambat sholat subuh dan berjamaah di masjid. Efek samping yang saya terima adalah ibu tidak masak pada hari itu, kalaupun masak itu masakan yang tidak saya sukai; dan pada sepanjang hari itu pula ibu tidak bisa diajak ngobrol, apalagi bercanda. Hari tersebut menurut saya adalah hari kiamat. Ibadah adalah segalanya. Solat duha dan tahajud yang hukumnya sunnah seolah menjadi wajib pula dalam keluarga.
Keluarga saya memang benar-benar religius mungkin. Bahkan yang namanya pacaran tidak boleh, menjaga bener namanya hubungan saya dan kakak saya dengan teman non-muhrim. Mungkin karena dulu ibu saya tidak peranh pacaran, menikah dengan Bapak pun hanya melalui proses ta’aruf selama sebulan dan kemudia menikah. Ibu saya sangat percaya bahwa jodoh itu ditangan Tuhan, maka setelah ibu dulu siap untuk menikah pun ibu rajin berdoa dan bersodaqoh, itu resume yang saya ambil dari cerita yang sering kali ibu sisipkan ketika sedang menasehati saya kalau saya ketahuan mengantarkan teman perempuan dengan berboncengan dengan sepeda motor. Lain orang lain pula ceritanya, Bapak saya dulu berwajah pas-pasan, tapi lumayan menarik, menawan, dan mempesona, buktinya saya sekarang ini meskipun kebagian badan besarnya ibu. Bapak pernah bilang kalau punya teman perempuan banyak tidak masalah tapi yang masuk ke hati cuma satu. Saya tidak begitu paham apa arti perkataan Bapak, tapi saya anggap itu ijin boleh pacaran. Toh kalau pacaran kami hanya sebatas status dan saya belum pernah pacaran pada saat itu.
Pulang malam pun tidak diperbolehkan. Hanya beberapa keluarga di kampungku yang menerapkan aturan seperti orangtuaku itu. Tapi kenyataannya kalau lewat diatas jam 6 sore yang lewat di jalan kampung bisa dihitung dan biasanya jamaah sholat magrib atau isya’, pengajian malam jum’at, dan pedagang mie ayam atau bakso.
Dulu saya adalah anak yang tidak bisa jauh dari orangtua, meskipun setiap saat saya dimarahi. Saat saya kembali dari pesantren yang ada di Jogja pun karena saya tidak betah “nyaman” jauh dari orangtua. Perjalanan saya di Solo selama 3 tahun di MAPK pun sebenarnya tidak terlepas dari intervensi guru-guru MTs dan dari orangtua saya sendiri. “Ibu dan Bapak dulu SMA nya juga di Solo, mosok aku nggak berani sekolah di Solo juga” kurang lebih sperti itu yang mereka katakan. Berbanding terbalik saat saya lulus dari MAPK, saya ingin kuliah di Jakarta.
Tidak selesai pertanyaan tentang Jakarta. Saya cuma main-main atau cuma bercanda atau saya sedang mengigau. Jurusan yang akan saya ambil di perkuliahan pun dipertanyakan karena saya seolah tidak ada kecenderungan. Background pendidikan formal Bapak saya S1 dan ibu saya D3 pun membuat saya sendiri yang awam terhadap UIN Jakarta membuat saya bingung menyakinkan mereka bahwa saya akan kuliah di Jakarta. Akhirnya saya boleh kuliah di Jakarta setelah mendatangkan teman yang telah kuliah di Jakarta yang kebetulan saat itu sedang libur, dan saya di terima di SNMPTN dan Ujian Mandiri Lokal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang artinya saya lulus ujian masuk.
Sampai sekarang pun kalau saya telat sholat jamaah ibu marah habis-habisan. Semisal, saya kan susah untuk tidur sore (dibawah jam 11; mungkin saya sedikit insomnia atau mungkin memang terbiasa seperti itu. Saya sudah pernah bilang ke ibu bahwa saya susah tidur. Kalaupun saya berusaha tidur dengan memejamkan mata terlebih dahulu, mungkin sejaman baru saya bisa tidur. Hal itu mengakibatkan saya susah bangun pagi dan akhirnya saya terlambat sholat subuh dan berjamaah di masjid. Efek samping yang saya terima adalah ibu tidak masak pada hari itu, kalaupun masak itu masakan yang tidak saya sukai; dan pada sepanjang hari itu pula ibu tidak bisa diajak ngobrol, apalagi bercanda. Hari tersebut menurut saya adalah hari kiamat. Ibadah adalah segalanya. Solat duha dan tahajud yang hukumnya sunnah seolah menjadi wajib pula dalam keluarga.
Keluarga saya memang benar-benar religius mungkin. Bahkan yang namanya pacaran tidak boleh, menjaga bener namanya hubungan saya dan kakak saya dengan teman non-muhrim. Mungkin karena dulu ibu saya tidak peranh pacaran, menikah dengan Bapak pun hanya melalui proses ta’aruf selama sebulan dan kemudia menikah. Ibu saya sangat percaya bahwa jodoh itu ditangan Tuhan, maka setelah ibu dulu siap untuk menikah pun ibu rajin berdoa dan bersodaqoh, itu resume yang saya ambil dari cerita yang sering kali ibu sisipkan ketika sedang menasehati saya kalau saya ketahuan mengantarkan teman perempuan dengan berboncengan dengan sepeda motor. Lain orang lain pula ceritanya, Bapak saya dulu berwajah pas-pasan, tapi lumayan menarik, menawan, dan mempesona, buktinya saya sekarang ini meskipun kebagian badan besarnya ibu. Bapak pernah bilang kalau punya teman perempuan banyak tidak masalah tapi yang masuk ke hati cuma satu. Saya tidak begitu paham apa arti perkataan Bapak, tapi saya anggap itu ijin boleh pacaran. Toh kalau pacaran kami hanya sebatas status dan saya belum pernah pacaran pada saat itu.
Pulang malam pun tidak diperbolehkan. Hanya beberapa keluarga di kampungku yang menerapkan aturan seperti orangtuaku itu. Tapi kenyataannya kalau lewat diatas jam 6 sore yang lewat di jalan kampung bisa dihitung dan biasanya jamaah sholat magrib atau isya’, pengajian malam jum’at, dan pedagang mie ayam atau bakso.
Dulu saya adalah anak yang tidak bisa jauh dari orangtua, meskipun setiap saat saya dimarahi. Saat saya kembali dari pesantren yang ada di Jogja pun karena saya tidak betah “nyaman” jauh dari orangtua. Perjalanan saya di Solo selama 3 tahun di MAPK pun sebenarnya tidak terlepas dari intervensi guru-guru MTs dan dari orangtua saya sendiri. “Ibu dan Bapak dulu SMA nya juga di Solo, mosok aku nggak berani sekolah di Solo juga” kurang lebih sperti itu yang mereka katakan. Berbanding terbalik saat saya lulus dari MAPK, saya ingin kuliah di Jakarta.
Tidak selesai pertanyaan tentang Jakarta. Saya cuma main-main atau cuma bercanda atau saya sedang mengigau. Jurusan yang akan saya ambil di perkuliahan pun dipertanyakan karena saya seolah tidak ada kecenderungan. Background pendidikan formal Bapak saya S1 dan ibu saya D3 pun membuat saya sendiri yang awam terhadap UIN Jakarta membuat saya bingung menyakinkan mereka bahwa saya akan kuliah di Jakarta. Akhirnya saya boleh kuliah di Jakarta setelah mendatangkan teman yang telah kuliah di Jakarta yang kebetulan saat itu sedang libur, dan saya di terima di SNMPTN dan Ujian Mandiri Lokal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang artinya saya lulus ujian masuk.
No comments:
Post a Comment