KAB - Hakikat kebudayaan
Pertama kali saya sekolah adalah di TK Pertiwi I Seloromo masuk pada usia 3,5 tahun. Saya lulus pendidikan TK tapi umur saya tidak bisa lolos ke bangku SD. Baru pada umur 5 tahun saya belajar di SDN 03 Seloromo. Dari kelas satu yang ujiannya tiap caturwulan saya tidak lepas dari 3 besar hingga kelas 4, karena selama kelas 5-6 saya selalu diperingkat pertama. SDN 03 Seloromo yang letaknya tidak jauh dari rumah saya pada waktu itu yaitu di Dk Balon, Ds Seloromo, Kec Jenawi, Kab Karanganyar.
Ketika saya kelas 5-6 SD setiap akhir pekan (sabtu-minggu) saya belajar ngaji di pesantren kakak saya, yaitu Pesantren Al-Hasanah. Selama dua tahun saya belajar mengaji dan mendapat doktrin yang kuat tentang agama, maka ketika lulu SD saya berkeinginan kuat untuk masuk pesantren seperti kakak saya. Hanya bertahan 1 bulan saya di pesantren Darul Qur’an di Sleman Yogyakarta lalu saya pindah ke MTs dideket rumah tapi saya tetap tinggal di pesantren, bukan di rumah.
Gejolak masa puberitas membuat saya tidak bertahan lama selama di pesantren semasa MTs. Diawal kelas 3 saya izin untuk pulang dan tidak lagi tinggal di pesantren. Selama perjalanan itu saya masih menjadi rajanya semut, saya tetap saja berada di peringkat pertama di sekolahan. Hingga saya di ajukan oleh para guru untuk masuk ke MAN PK atau MAPK.
Di sana ternyata saya memang cuma menjadi ekor singa. Kemegahan sekolahan dan intelektul para muridnya tidak bisa disepelekan, tapi saya tetap saja ekor singa, bukan lagi raja semut. Selama tiga tahun di sana sebenarnya saya sadar bahwa saya tidak cocok, tapi orang tua yang memaksakan kuat dan para guru yang mempercayakan saya sebagai murid unggulan membuat saya tetap terpaksa bertahan.
Jakarta adalah pilihan saya bertempur untuk menemukan siapa saya sebenarnya, meskipun ada alasan lain juga. Benar apa yang saya impikan dulu, Jakarta penuh wadah dan peluang untuk mencari siapa saya. Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tempat saya sekarang kuliah pun menawarkan secara tidak langsung mimpi-mimpi yang lebih menarik bahkan membuat saya pusing. Sekarang saya merasa bisa menemukan mimpi saya ini di Jakarta melalui teater dan film.
Ketika saya kelas 5-6 SD setiap akhir pekan (sabtu-minggu) saya belajar ngaji di pesantren kakak saya, yaitu Pesantren Al-Hasanah. Selama dua tahun saya belajar mengaji dan mendapat doktrin yang kuat tentang agama, maka ketika lulu SD saya berkeinginan kuat untuk masuk pesantren seperti kakak saya. Hanya bertahan 1 bulan saya di pesantren Darul Qur’an di Sleman Yogyakarta lalu saya pindah ke MTs dideket rumah tapi saya tetap tinggal di pesantren, bukan di rumah.
Gejolak masa puberitas membuat saya tidak bertahan lama selama di pesantren semasa MTs. Diawal kelas 3 saya izin untuk pulang dan tidak lagi tinggal di pesantren. Selama perjalanan itu saya masih menjadi rajanya semut, saya tetap saja berada di peringkat pertama di sekolahan. Hingga saya di ajukan oleh para guru untuk masuk ke MAN PK atau MAPK.
Di sana ternyata saya memang cuma menjadi ekor singa. Kemegahan sekolahan dan intelektul para muridnya tidak bisa disepelekan, tapi saya tetap saja ekor singa, bukan lagi raja semut. Selama tiga tahun di sana sebenarnya saya sadar bahwa saya tidak cocok, tapi orang tua yang memaksakan kuat dan para guru yang mempercayakan saya sebagai murid unggulan membuat saya tetap terpaksa bertahan.
Jakarta adalah pilihan saya bertempur untuk menemukan siapa saya sebenarnya, meskipun ada alasan lain juga. Benar apa yang saya impikan dulu, Jakarta penuh wadah dan peluang untuk mencari siapa saya. Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tempat saya sekarang kuliah pun menawarkan secara tidak langsung mimpi-mimpi yang lebih menarik bahkan membuat saya pusing. Sekarang saya merasa bisa menemukan mimpi saya ini di Jakarta melalui teater dan film.
No comments:
Post a Comment