Kumpulan Tutorial: UAS Komunikasi Antar Budaya - Analisa Budaya Sendiri (KERUKUNAN UMAT BERAGAMA)

UAS Komunikasi Antar Budaya - Analisa Budaya Sendiri (KERUKUNAN UMAT BERAGAMA)

Sedikit mereview tentang diri saya. Saya adalah putra asli Jawa. Ibu asli Jawa dan bapak juga Jawa. Keduanya keturunan Jawa tulen, meskipun berbeda status sosialnya. Ibu dari keturunan Pedagang, sementara bapak keturunan Santri. Sejak kecil saya tinggal di Jawa, tepatnya di Jenawi – Karanganyar – Solo – Jawa Tengah. Beberapa tahun sebelum saya masuk Sekolah Dasar (SD), tempat tinggal kami berpindah-pidah dalam kurun waktu yang tidak lama; setahun sampai dua tiga tahun. Maklum, kedua orang tua saya pekerjaannya PNS sebagai Guru bidang di Sebuah Sekolah Dasar Negeri di Desa Seloromo.
Pada akhirnya kami menetap di sebuah dusun kecil yang kalau orang setempat menganggapnya sudah lumayan modern. Dengan alasan akses ke kota mudah, sarana transportasi dan komunikasi juga lumayan memadai. Dusun Prapatan – Desa Seloromo – Kecamatan Jenawi – Kabupaten Karanganyar – Karesidenan Surakarta. Ya seperti itulah asalku. Bahkan kalau ditanya jalan asalku, aku menyebut semua nama-nama itu. Tidak ada jalan, yang ada Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Jadi bisa dibilang tanpa nama jalan pun rumah-rumah kami mudah ditemukan.
Meskipun jarak antar rumah di kampungku tidak sedekat jarak antar rumah di Jakarta, tapi kami masih sempat membuat kebun-kebun kami itu sebagai sumber penghasilan. Kebun-kebun yang tanahnya masih subur bisa ditanami dengan berbagai macam sayuran dan buah-buahan, bahkan tak jarang pepohonan yang rindang dan enak untuk tidur siang juga masih tersedia disana.
Mayoritas penduduk di desaku keturunan Jawa, hanya beberapa mereka keturunan Sunda, Padang, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan lainnya. Ini karena beberapa tahun silam penduduk dari desaku banyak yang dipindah (baca: ditranmigrasikan) ke beberapa pulau di luar Jawa. Tapi beberapa tahun sebagian kembali ke desa dengan membawa keluarga baru, menikah dengan penduduk yang mereka datangi.
Sejak kecil saya tinggal di Jawa, tapi tempat tinggal saya berpindah-pindah menyesuaikan tempat saya mencari ilmu. Sewaktu di Sekolah Dasar saya tinggal bersama orang tua dan sekolah di tempat mereka mengajar. MTs atau setara SMP, saya tinggal di Pesantren, mulai mandiri dengan keluarga baru di pesantren dan budaya baru. MA yang setara SMA, saya tinggal di Asrama, tapi teman-teman MA saya tidak sehiterogen teman pesantren saya dulu.
Selesai menimba ilmu di MA dan tinggal di Asrama, saya membulatkan tekat merantau ke Ibu Kota, Jakarta Kota Metropolitan. Jakarta memiliki keunikan tersendiri bagi saya, karena Jakarta ibu kota Indonesia yang tentunya berbagai macam suku, ragam agama, kepercayaan, kebudayaan, bahasa, adat, dan lain sebagainya saya percayai ada di sini. Dan ketika saya mulai berada di Jakarta sebenarnya ini adalah awal dari proses pencarian jati diri saya.
Jakarta bukan saja tempat pencarian jati diri saya. Sebenarnya lebih tepatnya tempat saya membentuk sosok manusia amin. Setelah bertahun-tahun saya belajar dan saya mencoba berkomunikasi dengan menerapkan apa yang saya dapatkan kepada masyarakat yang heterogen ini. Bukan hal yang mudah ketika apa yang saya bayangkan ternyata kenyataan Jakarta lebih komplit lagi kompleks lagi.
Tapi tentu saja saya tetap merasa tertantang dan menarik dengan fenomena Jakarta ini. Masyarakat Betawi yang mengeklaim bahwa Jakarta adalah asal-muasal mereka dan para penduduk urban yang jumlahnya berkalilipat dari masyarakat betawi tersebut. Dan ternyata pada awal tahun saya tinggal di kosan atau kontrakan adalah milik orang Betawi. Sedangkan yang tinggal di kosan tersebut yang asli betawi bias dihitung dengan jari, satu sampai tiga orang saja, selebihnya pendatang.
Saya adalah pendatang, dan budaya saya mengajarkan saya bahwa dimana bumi dipijak disana langit dijinjing. Saya menghormati masyarakat betawi dan masyarakat yang lainnya. Adaptasi di Jakarta tidak semudah seperti saya beradaptasi dulu saat di pesantren dan di asrama. Kuncinya adalah saling menghormati, menghargai dan tenggang rasa kepada sesama. Dan Alhamdulillah semua itu saya lakukan dan respon yang saya dapatkan baik, terbukti saya memiliki banyak teman di kampus maupun di luar kampus.
Tentu saja hidup tidak selalu indah, karena roda yang berputar sudut-sudutnya terkadang di bawah, juga kadang di atas. Jadi ada saja penghambat dalam bergaul – berkomunikasi dengan ligkungan sekitar, baik terkait adat – bahasa – makanan; yang semua intinya budaya. Sebagai contoh masyarakat betawi yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi seperti marah-marah, keras dan blak-blakan, baik kepada yang lebih muda atau yang lebih tua. Berbeda dengan budaya Jawa, berbicara pun ada caranya. Kalau dengan yang lebih tua menggunakan bahasa jawa karma, sedangkan dengan yang sebaya atau lebih muda dengan bahasa jawa ngoko. Di kuliner juga kalau di Jakarta (betawi) seringkali menyuguhkan tamu dengan teh tawar itu adalah biasa. Tapi kalau di Jawa hal tersebut dianggap kurang menghargai karena dianggap pelit.
Solusi yang saya lakukan seperti yang saya paparkan di atas, yaitu saling memahami – menghormati - menghargai dan tenggang rasa kepada sesama. Saya sadar kalau perbedaan yang ada diantara kami ini bukan untuk diperpanjang ataupun dipermasalahkan, tapi perbedaan ini ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Seperti halnya lukisan yang harganya mahal, yaitu warnanya berbagai macam dan bentuk yang berbeda, namun semua itu bisa tersusun serasi dan rapi. Filosofi itu mendasari saya untuk beradaptasi. Secara kongkritnya ketika beradaptasi saya belajar satu persatu dari teman-teman saya, berikut mengenalkan budaya saya kepada mereka.
Indonesia adalah salah satu negara yang mengakui akan beraneka ragam. Hal ini tercantum dalam dasar negara, Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai Suku dan Budaya, dari Sabang sampai Merauke. Di Jakarta yang masyarakatnya heterogen ini selain berasal dari suku dan budaya yang berbeda, juga masing-masing menganut kepercayaan yang berbeda. Lebih beragam kepercayaan yang ada di Jakarta daripada di kampung saya; Islam – Krister – Katolik – Budha – Hindu – Konghucu – Kong Fu Tse – dan lain-lain. Bahkan Islam yang anut ketika di Jakarta di pertanyakan golongannya; sebab di Jakarta ada NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Persis, Lia eden dan lain-lain.
Keberagaman di Jakarta ini memang benar-benar seperti lukisan abstrak yang harganya sangat mahal. Seorang seniman pun mungkin akan mengatakan seperti tersebut. Meskipun serasa kurang searsi karena yang beragama ada yang sangat beragama banget tapi juga ada yang sama sekali tidak mengenal agama. Dan ada juga yang baik ya sangat baik tapi juga ada yang jahat dan sangat jahat. Sekali lagi kunci saya bertahan di Jakarta ini adalah menjaga hubungan baik dengan cara toleransi dan menghormati sesama.

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Saya terlahir dari keluarga yang Islam kolot alias kuat. Akan tetapi tidak terikat pada sebuah golongan atau organisasi tertentu. Bapaknya bapak alias kakek dari bapak saya berfahamkan NU dan bapak saya Muhammadiyah. Sementara bapaknya ibu alias kakek dari ibu berfahamkan Islam abangan dan ibu saya NU. Tapi saya dan kakak saya tidak paksa untuk mengikuti salah satu dari mereka.
Menurut ibu dan bapak saya, yang penting adalah sholat tepat waktu dan berjamaah. Dan kalau saya tidak melakukannya dengan baik dan benar maka sangsi dari mereka lumayan kurang mengenakkan.
Sebagai contoh unik ayah saya adalah berpahamkan Muhammadiyah, tapi beliau juga berkenan memimpin Tahlil jika ada pengajian atau acara-acara agama tertentu. Bahkan setiap malam jum’at ada pengajian khusus baca Surat Yasin disertai tahlil. Dan ayah saya tetap mengaku sebagai seorang Muhammadiyah, bukan NU. Toh menurut saya memang sama saja, yang penting syahadat, sholat, puasa, zakat – sodaqoh, dan haji bagi yang mamu.
Saya mengakui kalau tidak mengikuti satu pun dari golongan tersebut. Tapi saya ada kecenderungan lebih nyaman bersama teman-teman dari NU, tapi bukan yang kolot, melainkan yang cultural. Tapi sekarang ini saya lebih suka menerima perbedaan yang berarti kebersamaan yang harus diserasikan.
Bagi saya tidak ada alasan untuk tidak berhubungan baik dengan orang lain. Saya harus memiliki banyak teman, karena banyak teman akan banyak pengalaman, dan banyak pengalaman insyaallah banyak rizki. Dan saya tidak terlalu memilah-milih teman yang akibatnya saya mempunyai banyak teman dari berbagai golongan bahkan agama. Sementara saya di kampus dengan teman-teman yang sama seislam, di luar kampus saya berteman dari berbagai macam golongan.
Sebagai contoh saya memiliki guru psikologi dan spiritual teater di luar kampus yang ternyata setelah saya telisik ternyata dia beragama Katolik. Dari beliau saya belajar menghargai perbedaan dan dari Gusdur saya belajar merayakan perbedaan untuk perdamaian. Saya mencoba belajar dengan mereka karena saya melihat sepertinya sekarang ini orang non-Islam lebih bisa menghargai perbedaan daripada Islam sendiri.
Saya pun di kampung memiliki tetangga yang beragama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Tapi yang benar-benar sering berhubungan dengan Kristen dan Katolik, karena rumah saya berhadapan dengan mereka. Lepas dari masalah peperangan palestina ataupun perang salib yang pernah terjadi dulu, saya dan keluarga saya bisa hidup rukun dengan mereka. Sampai-sampai dalam satu dusun (di bawah desa) terdapat masjid dan gereja. Ini berarti tidak hanya keluarga saya yang menerima perbedaan, tapi juga masyarakat di kampong saya juga bisa.
Seperti yang saya sudah jelaskan di atas saya juga banyak memiliki banyak teman yang berbeda agama dengan saya. Kita hidup saling menghormati dan menghargai terkadang saya juga mengucapkan selamat hari raya kepada teman-teman saya yang berbeda agama inilah salah satu bentuk rasa hormat saya terhadap pemeluk agama yang berbeda sehingga dalam kehidupan saya terjalin hubungan yang sangat harmonis dengan umat beragama yang berbeda.
Tetanggaku yang beragama Kristen adalah seorang pastur. Dia orang yang baik dan kami juga baik terhadapnya. Dia memelihara anjing sebagian untuk hewan peliharaan dan sebagian yang lainnya diternakkan. Dia tinggal di daerahku lebih dulu, jadi pada awal-awal kami tinggal di sana dia masih memelihara anjing dengan di lepas begitu saja. Tapi beberapa lama kemudian dia paham dan akhirnya hanya memelihara di dalam pekarangannya sendiri. Aku sendiri heran kenapa tidak dari dulu dia memelihara di pekarangannya sendiri, karena menurut aku lumayan luas ukuran pekarangannya. Yang pasti sekarang kami bisa saling memahami.
Tidak jarang keluargaku kalau memasak dibagi dengan mereka, dan mereka juga seperti itu. Untuk masalah pada peringatan hari besar Islam, mereka sering mengucapkan selamat dan ikut merayakannya, tapi sebaliknya keluargaku hanya mengucakan ala kadarnya saja tanpa ikut perayaannya. Semisal idul adha, mereka dulu pernah ikut menyumbang hewan kurban.
Di lain hal, salam dalam keluarga saya terbiasa mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum. Diantara tetangga saya yang non-muslim menjawab juga dengan wa’alaikum salam. Sementara ketika kebalikannya mereka menyapa keluarga saya dengan salam sejahtera, maka orang tua saya hanya menjawab ya; sedangkan saya pribadi bisa menjawab dengan salam sejahtera. Bukan berarti orang tua saya tidak menghormati tetangga yang non-muslim ataupun mereka juga tidak menghormati kami, tapi kami saling menghargai dengan cara kami. Terkadang saya mensiasatinya dengan mengucap salam universal, seperti selamat pagi – selamat siang – selamat malam – selamat beraktifitas atau lain sebagainya.
Dulu saya pernah beberapa kali mengikuti perayaan hari besar agama selain yang saya anut; seperti natal – paskah di Kristen dan Katolik, upacara hindu – budha yang saya lupa namanya. Semua itu saya lakukan tanpa sepengetahuan orang tua saya. Karena saya tahu kalau mereka mengetahui saya ikut acara-acara tersebut mereka akan marah. Bagi orang tua saya yang sangat kolot (baca: islamnya kuat/taat) adalah hal wajar jika bersosialisasi dengan semua orang dari berbagai macam golongan, tapi untuk urusan agama – kepercayaan – iman – ideologis mereka sangat antipasti jika tidak sesuai dengan mereka.
Saya mengikuti acara-acara tersebut hanya sekedar ingin tahu dan karena memang di ajak oleh teman dekat saya yang kebetulan non-muslim. Hal tersebut menarik karena saya tidak mau hanya mengenal islam lalu menyalahkan non-islam begitu saja. Dari peringatan-peringatan yang saya ikuti pada intinya jika seorang yang beragama meskipun non-islam, jika mengamalkan dengan baik dan benar – taat – patuh, maka itu lebih baik dibanding seorang beragama islam yang tidak taat.
Ketika saya mengikuti perayaan-perayaan baik di gereja – wihara – pura – candi tersebut saya tidak pernah sekalipun mengamini doa mereka ataupun saya ikut berdoa. Saya hanya terdiam dan memilih untuk melihat dan menyaksikan saja tidak lebih. Hanya saja saya pernah ikut doa bersama orang-orang non-muslim ketika ada bencana besar seperti tsunami aceh, bom bali, wasior, gempa jogja, merapi, dan lain-lain dengan catatan saya itu hanyalah doa universal sesuai kebutuhan dan kepercayaan kami masing-masing. Sekali lagi yang saya rasakan adalah nilai kebersamaan dan indahnya hidup dalam damai nan serasi.
Saya pribadi tidak bisa mengatakan orang non-muslim dilarang masuk masjid, tapi saya juga tidak meng-iyakan mereka masuk masjid. Hanya saja catatan saya, ketika dulu saya masuk gereja, mereka tidak protes ataupun marah. Tapi catatan untuk non-muslim saat masuk ke masjid atau berkunjung ke masjid hendaknya berpakaian rapi-sopan dan sesuai dengan aturan yang ada lah; karena di mana bumi dipijak di situ langit di junjung tinggi.

No comments:

Post a Comment

Copyright © Kumpulan Tutorial Urang-kurai