Kumpulan Tutorial: SEJUMLAH PEMIKIRAN LAIN TENTANG TIPOLOGI PERS

SEJUMLAH PEMIKIRAN LAIN TENTANG TIPOLOGI PERS


SEJUMLAH PEMIKIRAN LAIN TENTANG TIPOLOGI PERS
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS pada
mata kuliah Sisitem Komunikasi Internasional





Disusun oleh:

AMIN ROIS
108051000036

KPI 6B


JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011

ABSTRAK
Sistem pers berkaitan dengan arus informasi. Sistem pers merupakan represensi dari sebuah negara. Setiap negara memiliki sistem pers yang berbeda­beda. Dalam tipologi klasik yang dikenalkan Seibert dan kawan-kawan, terdapat empat sistem pers, yaitu otoritarian, libertarian, soviet-komunis, dan tanggung jawab sosial. Sistem tanggung jawab sosial dianggap lebih tinggi, sedangkan sistem pers lain dinilai seolah tidak bertanggung jawab terhadap sosial.
Pertanyaan mayornya adalah Bagaimana pemikiran yang lahir setelah tipologi pers klasik? Sedangkan pertanyaan minornya, Apa faktor penyebab lahirnya pemikiran lain setelah tipologi pers klasik? Apa pengaruh sistem pers terhadap sistem politik? Apa pengaruh sistem pers sebuah negara terhadap negara lain?
Dalam perkembangan sistem pers, John Merrill mengenalkan model "Tiga dan Satu", yang meleburkan sistem Otoritarian, Soviet Komunis, dan Tanggung Jawab Sosial. Hal itu karena terdapat kesamaan yaitu kontrol terhadap pers dan menyebabkan pers menjadi kehilangan kebebasannya; dan Libertarian di kelompok lain. Sedangkan Ralph Loewenstein mengenalkan model "Loewenstein Progression", yang mengubah Soviet-Komunis menjadi Social Centralist, untuk menghilangkan konotasi negatif dari komunis agar bisa digunakan di semua negara terutama; sementara kategori Tanggung jawab Sosial diubahnya menjadi Social Libertarian.
Penulis menggunakan teori modernization yang dikenalkan oleh Daniel Lerner pada tahun 1940; yaitu support economic development dengan strategi politik ditekan dan ekonomi diangkat untuk membungkam masyarakat. Hal ini menurut penulis tepat dengan sistem pers yang selalu dipengaruhi oleh kondisi politik maupun ekonomi di suatu negara.
Metodologi

Analisis
Dalam pers, tanggung jawab sosial merupakan efek dari proses komunikasi dan menjadi unsur penting dalam sistem pers. Pada model "Tiga dan Satu" ketiga sistem pers terdapat kontrol pers yang tentunya tanggung jawab sosialnya terdapat intervensi; sementara pada Libertarian melalui pluralisme informasi. Pada penerapannya Sistem Otoritarian sering digunakan di negara yang menganut sistem politik otokratik, hal ini bertujuan membuat stabilitas negara. Sebaliknya pada sistein libertarian digunakan di negara yang menganut sistem politik demokratis. Dan tentu saja sistem libertarian terkadang dianggap merusak hubungan bilateral antar negara karena pemerintah tidak berwenang mencampuri kegiatan pers. Oleh karena itu pers memiliki hukum tersendiri dan etika tersendiri.
Sistem pers merupakan arus informasi sebuah negara. Sistem pers tersebut objektif sesuai dengan sistem politiknya. Setiap sistem pers dalam tipologi pers klasik memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, baik yang terkontrol maupun liberal tetap memiliki tanggung jawab sosial.
Keywords: Typology Classic, Otoritarian, Libertarian, Soviet Komunis, Tanggung Jawab Sosial, Tiga Satu, Social Centralist, Sosial Libertarian


PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau presse (Prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “tekan” atau “cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.[1]
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.
Sebuah sistem sangat diperlukan bagi melancarkan mekanisme sub-sub sistem yang ada didalamnya. Sistem sangat membantu dalam memudahkan pencapaian tujuan sistem juga membangun kesamaan-kesamaan dari keserasian.
Pers yang berfungsi menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, mempengaruhi pun perlu memiliki sistem. Tentu saja untuk melancarkan atau mencapai tujuan-tujuan tersebut. Persoalannya, sistem pers tidak bisa dilihat sebagai menentukan tujuannya sendiri. Sistem pers pada dasarnya hanyalah sub-sistem dari sistem kemasyarakatan yang lebih htas, dan sebagai suatu sub-sistem haruslah dilihat sebagai sesuatu yang berinteraksi dengan berbagai sub-sistem lainnya. Misalnya keberadaan sistem pers tidak dapat dipisahkan dari sistem politik, sosial, budaya, dan sebagainya.
Melihat pers sebagai sistem yang terpisah akan menjadikan pemahaman kita akan pers tidak tuntas alias sepotong­-sepotong. Bayangkan apabila kita ingin melihat sistern pers apa yang berlaku dalam sebuah negara tanpa pula menengok sistem politik apa yang berlangsung di negara itu. Rasanya tidak mungkin, karena berbicara tentang sistem pers akan menyangkut pula masalah mekanisme kontrol terhadap pers apa yang berlaku di negara tersebut, dan itu berarti berurusan dengan sistem politik.
Fred S. Seibert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, mengajukan tipologi komunikasi khususnya komunikasi massa yang dikenal dengan istilah "Four Theories of The Press", yaitu melihat tentang bagaimana peranan pemerintah, peranan pers, dan masyarakat menjadi sasaran dari hubungan pemerintah dengan pers tersebut. Empat sistem yakni authoritarian (otoriter), libertarian (liberal), social responsibility (Tanggung jawab Sosial), dan communist (Komunis) - dalam hal ini Komunis Soviet. Kemudian keempat teori tersebut disebut juga dengan tipologi pers klasik.
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah tidak ada negara yang benar-benar menerapkan sistem pers tersebut (otoritarian, libertarian, soviet komunis, dan tanggung jawab sosial) secara ketat. Bahkan salah satu sistem pers yang dianut suatu negara juga seringkali bertentangan dengan negara lain yang berbeda sistem pers-nya. Pertanyaan yang timbul, bagaimana pemikiran yang lahir setelah tipologi pers klasik? Apa faktor penyebab lahirnya pemikiran lain setelah tipologi pers klasik? Apa pengaruh sistem pers terhadap sistem politik? Apa pengaruh sistem pers sebuah negara terhadap negara lain?
Pertanyaan dan permasalahan tersebut di atas akan kami jawab dan bahas di dalam makalah ini dengan ringkas dan jelas. Dan tentu saja melalui formulasi-formulasi yang mudah dimengerti dan dipelajari.



TEORI
Harold D Lasswell mengenalkan model komunikasi dasar dengan who says what in which channel with what effect; yang artinya siapa berkata apa melalui chanel apa dan apa efeknya. Teori ini menjelaskan Siapa, Apa, Channel, dan Effek atau disebut Sender, Massage, Media, dan Pengaruh. Teori ini menggambarkan proses komunikasi tidak hanya sampai di recipient saja tapi juga harus sampai memberi efek yang jelas. Tentu saja pers beserta sistemnya harus memiki ke unsur-unsur tersebut. Terlebih di dalam efek, pers dengan berbagai bentuk sistem memperoleh efek yang berbeda di masyarakat.
Penulis menggunakan teori modernization yang dikenalkan oleh Daniel Lerner pada tahun 1940; yaitu support economic development dengan strategi politik ditekan dan ekonomi diangkat untuk membungkam masyarakat. Hal ini menurut penulis tepat dengan sistem pers yang selalu dipengaruhi oleh kondisi politik maupun ekonomi di suatu negara.
Dalam pembahasan ini pemahaman tentang sistem pers akan dilandasi pada dua faktor. Pertama-tama, adalah filsafat yang mendasari masyarakat di mana pers tersebut hadir. Akan ditunjukkan nanti bagaimana perbedaan cara pandang tentang hubungan antara manusia, masyarakat dan negara akan membawa perbedaan posisi pers dalam berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, adalah sistem politik dan kondisi sosial-politik-ekonomi yang berinteraksi dengannya. Akan ditunjukkan bagaimana pers yang hadir dalam kondisi sosial-politik-ekonomi yang berbeda akan membawa pula perbedaan peran pera dalam masyarakatnya.





METODOLOGI
Berbicara mengenai pers tidak dapat mengabaikan ruang lingkup tempat hidup pers itu sendiri. Pers hidup dalam sebuah sistem kenegaraan yang di dalamnya terdapat subsistem-subsistem lain, termasuk pers itu sendiri. [2]
Pertama, politik: semua negara pasti merasakan pentingnya sistem komunikasi dalam kehidupan politiknya. Yang perlu dicatat corak atau bentuk sistem komunikasinya secara teoritis tergantung pada sistem politik yang berlaku di negara tersebut. Namun yang jelas semuanya bermuara pada kebebasan mengeluarkan pendapat.[3]
Kedua, ekonomi: perkembangan teknologi informasi yang diawali dengan penemuan mesin cetak oleh Gutenberg tahun 1453, radio telegram oleh Marconi tahun 1895 dan televisi pertama di AS tahun 1927 telah mengubah wajah komunikasi dari human communication menjadi mass communication. Komunikasi tidak lagi sekedar fenomena sosiologis tetapi sekaligus punya dimensi ekonomi. Dalam konteks Indonesia munculnya istilah pers konglomerat dan konglomerat pers seakan menjadi pembenarnya. Misalnya, Jakob Oetama dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia)-nya dan Surya Paloh dengan kelompok Media Indonesia-nya.
Ketiga, budaya: selain itu media komunikasi juga merupakan alat kultural. Inilah yang disebut Schiller sebagai imperialisme budaya yang disokong oleh iklan sebagai ujung tombak kapitalisme internasional yang didominasi Barat. Ia mengatakan, “the cultural penetration that has occurred in recent decade embraces all the socializing institutions of the host area and the impact of the penetration is felt through out the realm of individual and social consciousness in the penetrated provinces” (Schiller, 1976). Dengan demikian, ketika kita makan ayam goreng Kentucky Fried Chicken, minum Coca Cola dan menonton film Rambo maka semua itu bukan sekedar makanan, minuman atau tontonan. Tetapi sekaligus produk budaya. Budayawan dan bekas Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Goenawan Mohammad mengintrodusir konsep imogologi: ketika ideologi dikalahkan oleh realitas dan realitas dikalahkan oleh image.
ANALISIS
Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm telah membuat kategori teori-teori pers dalam bukunya The Four Theories of The Press [4], yang dapat diimplementasikan sebagai sistem pers pula. Dalam bukunya Fred S. Siebert dan kawan-kawan membahas mengenai empat teori pers yaitu Teori Otoritarian, Teori Libertarian, Teori Tanggung Jawab Sosial, dan Teori Sovyet Komunis.[5]
Teori-teori pers ini diformulasikan dari pengembangan prinsip-prinsip filosofis (filsafat sosial) pada saat itu sehingga menghasilkan basis struktur sistem sosial politik di mana media itu beroperasi. Seperti Teori Otoritarian yang mengambil contoh kasus di Eropa Barat (Inggris, Prancis, Spanyol) pada masa transisi (Zaman Pencerahan) yang masih sangat kuat pengaruh Otoritarianisme Zaman Pertengahannya.[6] Juga Teori Libertarian yang berawal dari filsafat libertarian yang berkembang setelah keruntuhan era otoritarianisme di Eropa Barat. Jadi, filsafat sosial (begitu juga teori) lahir dari sejarah dan hanya dapat dipahami dengan melihat konteks sejarah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya filsafat itu.[7]
Sistem pers didalam suatu negara selalu dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup bangsanya sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam proses interaksi antar orang yang terjadi dinegara itu. Falsafah komunikasi yang dianut pada umummya sejalan dengan sistem politik yang berlaku. Komunikasi mempunyai kemampuan menambah pengetahuan, merubah dan memperkuat opini, merubah sikap serta menimbulkan partisipasi secara individual maupun menambah sikap serta menimbulkan partisipasi secara individual maupun sosial. Keadaan ini mengharuskan adanya kesamaan pandangan antara supra dan infrastruktur politik dalam mengimplementasikan kegiatan komunikasi sesuai dengan filsafat bangsa itu sendiri.
1.      Otoriter (authoritarian):
Sistem ini memandang kedudukan negara lebih tinggi daripada individu. Dalam konteks komunikasi, terjadi pengendalian yang ketat atas komunikasi massa. Pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan mutlak seorang raja.
Efek positif teori otoriter:
a.       Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat
b.      Mudah membentuk integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.
Efek negatif teori otoriter:
a.       Adanya penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan pendangan/
b.      Mudah terjadi pembredelan penerbitan media yang cenderung menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang telah mapan.
2.      Liberal (libertarian)
Sistem ini sangat mendukung the free market of idea. Dapat dilacak dari pemikiran filsuf rasionalis Perancis Rene Descartes, “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir aku ada); filsuf empiris Inggris John Locke (1632 – 1704) dengan karyanya Social Contract dan John Stuart Mill (1806 – 1873) dengan karyanya On Liberty yang intinya menghendaki kebebasan berpendapat. Termasuk kebebasan berekspresi melalui media massa.[8]
Efek positif teori liberal:
a.       Kehidupan media massa sangat terjamin,media massa bisa eksis karma media dapat menyuarakan argument – argumentnya.
b.      Kreatifitas sangat tersalurkan karena media tidak di “setir” oleh Negara.
Efek negatif teori liberal:
a.       Kaum – Kaum kapitalis sangat merajalela karena dalm teori ini yang mampulah yang bisa maju dan berkembang.
b.      Kestabilan ekonomi sangat kecil dikarena kestabilan ekonomi di pegang oleh setiap individu bukan pemerintahan atau Negara.
3.      Komunis Soviet (soviet communist concept)
Konsep ini tidak lain dari new authoritarian yang berdasarkan pemikiran Karl Marx (1818–1883). Ia mengatakan ide adalah manifestasi dari dunia materi. Pemikirannya diadobsi oleh Bapak pendiri USSR Vladimir Oeljanov Lenin (1870–1924) yang mengatakan, “Freedom of the press is one of the keynote of pure democracy. This freedom is a lie so long as the best printing works and the largest stocks of paper are in capitalist hands. Meanwhile the independence of the Bolshevic press rest in the closes dependence on the working class” (Martin, 1983).[9]
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat, sehingga yang berhak menggunakan media pers hanya orang-orang yang setia pada penguasa dan anggota yang ortodok.
Tugas pokok pers dalam system pers komunis adalah menyokong, menyukseskan, dan menjaga kontinuitas system social Soviet atau pemerintah partai. Dan fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan masyarakat dari cita-cita partai.
4.      Tanggung Jawab Sosial (social responsibility)
Kaum soviet menuduh bila terjadi kebebasan pers, maka yang akan diuntungkan adalah kaum borjuasi yang memiliki sarana media massa. Kebebasan pers menurut mereka, hanya dapat diselenggarakan dalam masyarakat tanpa kelas. Kebebasan pers yang hakiki hanya dapat dicapai hanya apabila Negara dan kelas lenyap sehingga dengan demikian lenyap pulalah pemilikan terhadap alat-alat produksi.
Sensor pemberitaan dilakuakn oleh partai dengan asumsi bahwa media massa harus bertanggung jawab kepada rakyat yang diwakili oleh anggota partai. Partai melakukan sensor dengan cara: pertama, menempatkan departemen penerangan dan agitasi di redaksi-redaksi surat kabar. Kedua, adalah dengan mengeluarkan sejumlah besar arahan-arahan yang menentukan bahan apa yang harus muncul dalam media massa. Ketiga, ialah dengan kritik dan penilaian oleh partai kepada pers.
Selanjutnya John C. Merrill, sang ilmuwan komunikasi yang radikal libertarian melahirkan Model “Tiga dan Satu”. Ide-idenya sangat diwarnai oleh prinsip-prinsip kebebasan mutlak: "bebas, atau tidak sama sekali". Merrill melihat bahwa apa yang disebut sebagai "empat teori pers" sebagaimana yang terangkum dalam tipologi klasik sebenarnya hanya terdiri dari dua kubu pers. Menurutnya sistem pers tanggungjawab sosial, otoriterian, dan Soviet­komunis berpotongan satu sama lain. Artinya terdapat beberapa kesamaan antara ketiga sistem pers tersebut. Ketiganya memiliki satu ciri tunggal: adanya kontrol terhadap pers. Beberapa ciri lain dari sistem pers "gabungan"
Merrill berdalih pula, bahwa sistem pers libertarian tidaklah begitu saja meniadakan dimensi tanggungjawab. Baginya kebebasan pers akan menciptakan pluralisme informasi, dan justru pluralisme itulah yang akan membawa manusia pada kebenaran. Dengan demikian, justru libertarian adalah lebih bertanggungjawab dari yang lain, karena sekali ada pihak diberi wewenang untuk mengontrol, pergerakan ke arah manipulasi dengan sendirinya akan berlangsung.
Ralph Loewenstein seorang sarjana dari Universitas Missouri Amerika Serikat mengemukakan model lain yang tidak jauh beda dengan Meriil.  Yang membedakan model adalah dia tidak mengakui adanya Mistern Soviet-komunis dan sistem tanggung jawab sosial. Sebagai gantinya Lowenstein memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai sistem social centralist sebagai pengganti Soviet-Komunis, dan social libertarian sebagai pengganti sistem tanggung jawab sosial.
Loewenstein berpendapat sistem pers merupakan sesuatu yang berkembang. Perkembangan itu akan mengikuti pola sebagai berikut. Mula­-mula sistem pers yang ada adalah sistem pers otoriterian. Kemudian berkembang menjadi sistem libertarian. Lalu sistem liberatarian ini akan berkembang menjadi sistem social libertarian atau social centralist. Baik social libertarian maupun social centralist keduanya akan bermuara pada sistem utopia, yang memiliki ciri-ciri yang utopis: kebebasan pers mutlak, stabilitas sosial mutlak, kebebasan individu mutlak, akses terhadap media yang tinggi. Model "Loewenstein Progression" ini tampak lebih realistis dan lebih rumit dari dua model sebelummya. Setidaknya ada satu hal yang merupakan keistimewaan model ini, yaitu Loewenstein telah meletakkan sistem pers dalam sebuah sistem sosial sebuah sistem yang lebih besar. Perkembangan sistem pers sejalan dengan sistem sosial.



KESIMPULAN
Selain tipologi klasik yang diperkenalkan Siebert dan kawan-kawan, telah hadir pula berbagai tipologi sistem pers lain yang merupakan respons terhadap tipologi klasik tadi. Merrill memperkenalkan model "Tiga dan Satu", yang meleburkan kategori sistem pers otoritarian, Soviet-Komunis, dan Tanggung jawab Sosial dalam satu kelompok; dan kategori Libertarian di kelompok lain. Ralph Loewenstein memperkenalkan modul "Loewenstein Progression", yang mengubah kategori Soviet-Komunis menjadi kategori Social Centralist, sementara kategori Tanggung jawab Sosial diubahnya menjadi Social Libertarian.
Kelompok pengamat lain mengalihkan perhatian mereka dari filsafat yang mendasari sebuah sistem sosial yang semula dipandang sebagai determinan dari sistem pers yang berlaku, ke arah kondisi sosial­ekonomi ataupun tahap pembangunan suatu masyarakat. Dalam pendekatan terakhir ini, pengendalian terhadap arus informasi bisa dijelaskan oleh berbagai kebufuhan akibat perkembangan suatu masyarakat.
Sistem pers didalam suatu negara selalu dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup bangsanya sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam proses interaksi antar orang yang terjadi dinegara itu. Falsafah komunikasi yang dianut pada umummya sejalan dengan sistem politik yang berlaku. Komunikasi mempunyai kemampuan menambah pengetahuan, merubah dan memperkuat opini, merubah sikap serta menimbulkan partisipasi secara individual maupun menambah sikap.
Jadi untuk mengetahui sistem pers apa yang berlangsung pada suatu negara, termasuk Indonesia, harus dilakukan penelitian khusus dengan melihat latar historis suatu negara sehingga dapat diketahui karakteristik sistem negara dan sosial yang berlaku serta perkembangannya. Mungkin terdapat kemiripan karakter dengan apa yang dikemukakan dalam Empat Teori Pers karya Siebert dan kawan-kawan, namun kemiripan itu tidak menghilangkan kekhasan karakter sistem pers suatu negara.





DAFTAR PUSTAKA

Armando, Ade. Komunikasi Internasional. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.2007.
Lih. Fred S. Siebert dkk. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: PT. Intermasa. Hal 35.
http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/07/25/schramm-yang-“agen-intelijen”-empat-teori-pers-yang-menyublim-dan-sistem-pers-yang-relevan/
http:// dheroize.blogspot.com/2010/10/sistem-pers-internasional-part1.html
http://elisabetyas.wordpress.com/2009/10/03/sistem-pers-libertarian.html
http://kuliahkita185.wordpress.com/2010/10/05/psp-teori-dan-konsep-dasar-pers.html
http://massofa.wordpress.com/2008/02/05/sekilas-tentang-komunikasi-internasional/
Ignatius Haryanto. 2006. “Indonesia Raya Dibredel”. Yogyakarta: LkiS.
Sobur, Alex. (2001). Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung: Humaniora Utama Press.


[1] Sobur, Alex. (2001). Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung : Humaniora Utama Press. hlm. 145
[2] http://anggasgira.blogspot.com/2009/06/system-system-media-massa.html
[3] http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/07/25/schramm-yang-“agen-intelijen”-empat-teori-pers-yang-menyublim-dan-sistem-pers-yang-relevan/
[4] Lih. Fred S. Siebert dkk. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: PT. Intermasa. Hal 35.
[5] Lih. Fred S. Siebert dkk. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: PT. Intermasa. Hal 39.
[6] Lih. Fred S. Siebert dkk. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: PT. Intermasa. hal. 45-46.
[7] http://www.dheroize.blogspot.com/2010/10/sistem-pers-internasional-part1.html
[8] http://kuliahkita185.wordpress.com/2010/10/05/psp-teori-dan-konsep-dasar-pers.html
[9] http://elisabetyas.wordpress.com/2009/10/03/sistem-pers-libertarian.html

No comments:

Post a Comment

Copyright © Kumpulan Tutorial Urang-kurai