Kumpulan Tutorial: Jurnalisme Investigatif (Hukum dan Sistem Media Massa)

Jurnalisme Investigatif (Hukum dan Sistem Media Massa)

Seorang profesor bidang jurnalisme di Universitas California San Fransisco, Leonard Sellers, menyimpulkan dalam pendapat yang sederhana mengenai Reporter Investigatif, yaitu reporter yang berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutupi, karena informasi itu melanggar hukum dan etika. Jadi terlampau sederhana dan menyesatkan kalau ada seorang redaktur sebuah media massa mengklaim “semua reporter kami adalah reporter investigatif.”

Untuk itu seorang reporter investigatif perlu orang-orang yang benar siap, menjadi pemimpin dari dirinya sendiri, punya keyakinan, jangan beranggapan berita akan didapat karena keberuntungan. Ada suatu pendapat “Kesempatan itu cenderung datang pada orang yang sudah siap.” Tidak ada reporter yang malas yang beruntung. Jika sudah memiliki pembawaan yang selalu siap, bukan berarti akan tegang, bisa juga dihadapi dengan rasa santai, bukankah rasa santai dapat diajarkan. Memang, reportasi investigasi adalah pekerjaan membuka pintu dan mulut yang ditutup rapat. Tidak mungkin ada pada orang yang benar-benar tidak siap.
Brit Hume seorang jurnalis investigasi, pernah ditanya mengapa ia memilih menggeluti reportase investigatif? Jawabnya, yang terpenting dalam jurnalisme adalah memberikan kepada publik informasi yang oleh pemerintah dilarang keras untuk diketahui. Tetapi tidak sekadar teori, karena korupsi dan kebohongan yang terjadi sekarang ini lebih banyak dibandingkan yang diduga orang, dan juga tentu lebih banyak dari yang diperkirakan kebanyakan reporter.
Kapan Investigatif Reporting berkembang? Reportase investigatif mulai tumbuh menjadi suatu bibit yang positif biasanya pada negara yang otoriter dan totaliter. Disana seorang jurnalis berusaha menyingkap hal-hal yang selalu ditutupi oleh penguasa, terutama begitu kuatnya tekanan (pressure) terhadap dunia jurnalistik.
Jurnalisme investigatif disebut Santana (2003) sebagai sebuah faham yang sudah lama muncul di Amerika Serikat pada abad ke-17. Genre ini merasuki media massa di Indonesia kala Orde Baru. Media massa cetak yang pertama kali menggunakannya adalah Harian Indonesia Raya, di bawah asuhan Mochtar Lubis. Kondisi politik dan ekonomi suatu negara amat sangat mempengaruhi kemunculan dan pertumbuhan jurnalisme investigasi.
Secara garis besar, jurnalisme investigatif adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Wartawan investigasi dituntut agar mampu melihat celah pelanggaran, menelusurinya dengan energi reportase yang besar, membuat hipotesis, menganalisis, dan pada akhirnya menuliskan laporannya.
Jurnalisme investigasi ada ketika terjadi penyimpangan dalam suatu tatanan masyarakat. Pers punya peranan sangat penting untuk dapat menginformasikan peristiwa yang menyimpang itu. Tidak berhenti sampai titik ini, pers juga bisa melangkah jauh mengusut kesalahan, menemukan kebenaran, dan mengadakan perubahan.
Arismunandar (2008) mengatakan bahwa secara sederhana, peliputan investigatif adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi. Karakter dari berita investigatif adalah: (1) merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah; (2) mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis; dan (3) berkaitan dengan kepentingan publik.
Mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Arismunandar menyebut setidaknya ada tiga bentuk jurnalisme investigatif yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi. [1]

1. Pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting): 
Pelaporan investigatif orisinal melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik.
Dalam melakukan investigasi, jurnalis mungkin menggunakan taktik-taktik yang mirip dengan kerja polisi. Seperti, penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan/data publik, bahkan –dalam situasi tertentu– pemantauan aktivitas dengan sembunyi-sembunyi dan penggunaan penyamaran. Dalam pelaporan investigatif orisinal di era modern sekarang, kekuatan analisis komputer sering menggantikan observasi personal para reporter.

2. Pelaporan investigatif interpretatif (interpretative investigative reporting): 
Jenis pelaporan investigatif interpretatif juga menggunakan keterampilan yang sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi (penafsiran) pada tingkatan yang berbeda.
Perbedaan mendasar antara keduanya adalah, pada pelaporan investigatif orisinal, si jurnalis mengungkapkan informasi, yang belum pernah dikumpulkan oleh pihak lain manapun. Tujuannya adalah memberitahu publik tentang peristiwa atau situasi, yang mungkin akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Sedangkan, pelaporan interpretatif berkembang sebagai hasil dari pemikiran dan analisis yang cermat, terhadap gagasan serta pengejaran fakta-fakta yang diikuti, untuk memadukan semua informasi itu dalam konteks yang baru dan lebih lengkap. Dengan cara ini, diharapkan bisa memberi pemahaman yang lebih mendalam pada publik.
Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa. Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap sesuatu, serta informasi baru tentangnya.

3. Pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations):
Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-badan pemerintah.
Ahmad Taufik (2007) mencatat bahwa reportase investigatif mulai tumbuh menjadi suatu bibit yang positif biasanya pada negara yang otoriter dan totaliter. Di sana seorang jurnalis berusaha menyingkap hal-hal yang selalu ditutupi oleh penguasa, terutama begitu kuatnya tekanan (pressure) terhadap dunia jurnalistik. Nah, baru berkembang pada saat sang penguasa otoriter tumbang. Biasanya, pada zaman negara dipimpin oleh rezim penguasa yang otoriter atau totaliter, banyak jurnalis yang menjadi korban. Ada yang ditangkap, ada yang dibunuh seperti Udin dari Bernas Yogyakarta. Atau medianya ada yang dibredel, seperti kasus Indonesia Raya mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo. Atau seperti TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong.
Tujuan kegiatan jurnalisme investigatif adalah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-tutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadi waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak, setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari pelbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang signifikan, dan pemahaman terhadap data-data statistik.


[1]Septiawan Santana K. 2003. Jurnalisme Investigasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Copyright © Kumpulan Tutorial Urang-kurai