Soskomas: Analisis Data Atau Kasus Di Lingkungan Sekitar
ditulis oleh Amalia Indah (108051000038)
            
[4] http://www.sarapanpagi.org/media-bisa-menginspirasi-kejahatan-vt2423.html
BAGIAN KE 2
ANALISIS DATA ATAU KASUS DI LINGKUNGAN SEKITAR
Kelurahan Pisangan Baru. Kecamatan Matraman Kotamadya Jakarta Timur
Kantor Lurah Pisangan Baru:
Alamat Jalan No. Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman
Jakarta Timur (kode pos 13110)
A)   Sekilas Tentang Kelurahan Pisangan Baru
             Luas Wilayah 0.68 Km2, terdiri dari 12,679 Keluarga (KK), 169 RT, 15  RW. Kantor kelurahan Pisangan Baru sendiri menjadi batas sebelah utara  kelurahan ini, setelahnya sudah masuk pada wilayah kelurahan Utan Kayu.  Sebelah selatan dan barat kelurahan Pisangan Baru berbatasan dengan rel  kerata api stasiun Jatinegara yang terbentang panjang, setelahnya masuk  pada wilayah kelurahan Rawa Bunga. Sebelah timur berbatasan dengan pasar  burung Pramuka, setelahnya adalah wilayah Kayu Manis.
             Saya bermukim di Rw 008. Dari 15 RT yang ada di RW 008 ini, tempat  tinggal saya berlokasi tepatnya di RT 013. Wilayah yang saya tempati ini  merupakan gang pemukiman padat penduduk. Di wilayah ini memang tidak  terlalu ramai. Meski bentuknya gang, tapi suasana sepinya seperti  layaknya sebuah komplek. Namun warga setempat sering berkumpul di sore  hari, mulai dari kalangan anak-anak hingga orang tua. Bermain,  mengobrol, bersenda gurau, dan kegiatan positif lainnya.
             Setiap awal bulan diwilayah saya mengadakan arisan RW. Arisan tersebut  di ikuti oleh perwakilan dari setiap RT. Arisan ini dilaksanakan setiap  tanggal 8 tiap bulannya. Sesuai pada nomor RW kami, yakni RW 08.
             Selain kegiatan arisan, di wilayah saya ini juga diadakan program  kegiatan PKK. Dimana dalam kegiatan PKK ini ada banyak kegiatan sosial  yang dilakukan arisan, pelatihan-pelatihan (seperti tentang penyakit  kangker), kegiatan posyandu, kerja bakti di tiap minggunya. Tak  ketinggalan kegiatan dari kaula muda yakni karang taruna, yang biasa  kami sebut dengan ‘Karang Taruna Terpadu’.
             Di kalangan laki-laki juga ada kegiatan ronda dan setiap warga mendapat  jatah ronda. Tidak hanya dari kalangan bapak-bapak saja yang mengikuti  kegiatan ronda, tetapi anak mudanya pun aktif mengikuti kegiatan ronda  ini. Tentu saja ada pak hansip yang juga mendampingi warga yang sedang  ronda menjaga keamanan wilayah kami.
             Dari segi teknologi, wilayah kami yang seimbang antara masyarakat  menengah ke bawah dan menengah ke atas ini, mobilitas kami tidak tinggi.  Mulai dari akses internet yang sedang-sedang saja. Komunikasi  antarpersonal di wilayah saya ini masih kuat.
             Kami saling menghormati dan menghargai sesama tetanggaa. Misalnya saat  ada yang meninggal, meski pengumuman di subuh hari, warga kami langsung  menyambangi rumah duka dan bertakziah. Contoh lainnya, di wilayah kami  terdapat warga yang berbangsa Tionghoa. Tiap kali ada perayaan Imlek,  mereka membagi-bagikan kue khas hari raya imlek, yakni kue keranjang.
B)  Ciri Masyarakat Tradisional
             Tradisonal berasal dari bahasa latin yaitu “Traditum” yang memiliki  makna Transmitted yaitu pewarisan sesuatu dari sutu generasi ke generasi  berikutnya. Ciri-ciri masyarakat tradisional menurut Talcott Parson  yang dikutip dari http://nilaieka.blogspot.com/2009/04/ciri-ciri-masyarakat-tradisional.html adalah:
1.        Afektifitas : yaitu hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada kasih sayang.
2.        Orientasi kolektif yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan.
3.        Partikularisme  yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus  berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan  perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.
4.        Askripsi yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi sebelumnya.
5.        Diffuseness ( kekaburan ) yaitu dalam mengungkapkan sesuatu dengan tidak berterus-terang.
6.        Masyarakat yang terikat kuat dengan tradisi.
7.        Masyarakatnya homogen ( hampir dalam segala aspek).
8.        Sifat pelapisan sosialnya “tertutup “
9.        Mobilitas sulit terjadi.
10.    Perubuhan terjadi secara lambat.
11.    Masyarakatnya cenderung tertutup terhadap perubahan.
             Dari semua contoh kejadian serta analisis yang dilakukan, mengenai  wilayah kelurahan Pisangan Baru serta menghubungkannya dengan ciri-ciri  masyarakat tradisional menurut Talcott Parson maka masyarakat di wilayah  saya ini merupakan masih tergolong masyarakat tradisional.
BAGIAN KE 3
BUDAYA TRADISIONAL YANG DIKEMAS OLEH MEDIA MASSA
Tari Jaipong
o     Tentang Tari Jaipong
          Tanah  Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik,  Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini.  Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah  moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari  tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.
             Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu  Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang,  Go'ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam  musik Eropa/Amerika.
             Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana  alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian.  Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau  berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan  pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan. Seni tari  lainnya yang berasal dari Sunda ini diantaranya adalah Tari Topeng dan  Tari Merak.[1]
            Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk  mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama  Jaipongan.
             Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh  unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
             Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran  (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang)  dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun  peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya  (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak  Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara  koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu)  yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan  beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar  penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan  selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban  dan Pencak Silat.
o     Arti Tarian
            Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung,  Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya  adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul  perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada  Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sebagai tarian pergaulan, tari  Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang  memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya),  bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
                Pertunjukan tari jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang padasejenis  tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis.Tangan, bahu,  dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam polagerak yang lincah,  diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan,  seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata.  Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul  pada akhir tahun 1970-an yang sampaihari ini popularitasnya masih hidup  di tengah masyarakat.
o Perkembangan Tari Jaipong
             Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu  perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan  dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan  warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya,  yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
             Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap  para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian  rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari  Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk  menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan.
             Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas  keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting  yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat,  maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan  misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari  Jaipongan.
             Tari Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di  masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung,  genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat  maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong  menjadi kesenian Pong-Dut.[2]
o     Rumingkang
            Rumingkang  adalah kelompok tari Jaipong yang berasal dari Bandung Jawa Barat.  Rumingkang sendiri digawangi Febi Laniarti Rizki (12 tahun), Nurul Fitri  Anggraenie (12), Aulia Permatasari (11), Elsa Khoerunnisa (10) dan  Shenie Indriani (9). Rumingkang adalah salah satu peserta acara INDONESIA MENCARI BAKAT yang digelar oleh salah satu televisi swasta.  
            Rumingkang berhasil menampilkan konsep baru dalam tari Jaipong dianggap tidak  menarik, kuno, dan kampungan, khususnya bagi kalangan remaja dan  anak-anak, dengan gayanya yang memukau.
             Dalam setiap penampilan mereka, Rumingkang selalu menampilkan  ke-khas-an tari Jaipong yang berasal dari Jawa Barat, yang terkadang  dipadukan dengan tarian modern, termasuk tarian yang berasal dari daerah  lain, seperti tari India, pencak silat, tari Bali, dan banyak lagi.  Sampai pertengahan Agustus, Rumingkang masih dapat mempertahankan  posisinya pada babak final bersama beberapa finalis lain yang berasal  dari berbagai wilayah di Indonesia. 
            Grup yang mengandalkan tari jaipong asal Bandung ini mengaku awalnya cuma iseng mengikuti ajang ini. "Sebenarnya kita itu dari sanggar tari jaipong,  ikut INDONESIA MENCARI BAKAT ini hanya iseng-iseng. Kita cuma ikut-ikut untuk mengasah kemampuan  kita sebagaimana kita mengasah kemampuan kita, mengasah budaya Indonesia. Dan alhamdulillah kita masuk ke putaran final. Sanggar kita sebenarnya namanya Jaipongan Rumingkang. Jadi di IMB kita ringkas jadi Rumingkang. Kalau nama Rumingkang kita ambil dari nama belakang instruktur kita," urai Aulia Permata Sari, salah satu personil Rumingkang.
o     Tarian Jaipong Rumingkang vs Tari Asli Jaipong
            Pada  penampilannya rumingkang membawakan tarian jaipong yang menawan. Tarian  itu membuat juri di ajang pencarian bakat di salah satu tv swasta  terpesona dan meloloskan mereka hingga lima  besar. Dalam perjalanannya selama di acara tersebut rumingkang  menghadapi berbagai cobaan. Mereka sadar bahwa untuk menjadi juara  dibutuhkan usaha yang keras.
             Jika sebuah tradisi budaya sudah masuk ke sebuah media, khususnya  televisi yang bersifat audio visual. Maka budaya itu harus memiliki  nilai komersil yang tinggi. Seperti tarian Jaipong yang dibawakan  Rumingkang ini. Mereka harus menyadari bahwa juri dan pemirsa televisi  sifatnya heterogen. Untuk itulah Rumingkang harus bekerja keras untuk  bisa mencari gerakan-gerakan jaipong yang dapat menarik audiens dan  tidak membosankan.
             Salah satu usaha rumingkang untuk tetap berada di ajang pencarian bakat  itu adalah menggeser gerakan-gerakan jaipong asli lalu  mengkolaborasikannya dengan tarian modern ke dalam unsur gerakan tarian  mereka yang bergenre jaipong.
             Selain gerakan, kostum yang mereka kenakan juga merupakan hasil  kolaborasi. Karena kita tahu sebelumnya bahwa tarian jaipong busana  penarinya sederhana. Namun karena mereka tampil di layar kaca dan untuk  menarik perhatian audiens, maka rumingkang harus menampilkan busana yang  menarik dan tidak membosankan juga.
BAGIAN KE 4
KORBAN POSITIF DAN NEGATIF MEDIA MASSA
1.    Korban Positif
ü   Awal mula terbentuknya Sm*sh 
             Terbentuk 10 April 2010, tujuh anak muda yang terdiri dari Bisma,  Ilham, Dicky, Morgan, Rangga, Reza, dan Rafael melaju di tengah  kontroversial. Mereka yang menamai diri mereka dengan sebutan SM*SH atau  SMASH, yang berusaha memberikan warna baru di tengah industri musik Indonesia yang didominasi genre melayu.
             Awal terjun ke dunia hiburan, SMASH mengikuti ajang kompetisi dance  yang diadakan Cinta Laura untuk singlenya. Kemudian di bulan Oktober,  mereka meluncurkan single I Heart You yang mendapat respon pro dan  kontra di antara para penikmat musik.
            SMASH sendiri dianggap sebagai boyband plagiat karena meniru band SMASH asal Jepang dan Korea. Pun begitu mereka mengaku tidak demikian. Justru inspirasi berasal dari sang King of Pop, Michael Jackson - meski gaya yang mungkin hampir sama dengan boyband Korea yang sedang melejit.
ü   SM*SH korban demam Korea 
            Demam boy band sedang melanda Indonesia, yang mejadi pionir adalah Negeri Gingseng atau Korea. Korea yang sekarang ini sedang eksis dengan perfilman dan boy bandnya berhasil menghipnotis para remaja di Indonesia.  Banyak remaja di Indonesia sangat menyukai film dan lagu-lagu Korea,  bukan hanya karena ceritanya yang menarik atau menghibur tetapi  kebanyakan dari mereka lebih tertarik dengan para pemainnya, terutama  para gadis remaja.
             Selain film, boy band mereka pun demikian, karena tidak sedikit para  pemain film di Korea yang sedang digandrungi oleh remaja di Indonesia  terjun ke dunia tarik suara, baik solo, band, maupun boy band. Boy band  mereka yang sangat digandrungi di Indonesia salah satunya adalah SuJu atau Super Junior. Super Junior yang dihuni oleh banyak bintang film korea menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka untuk menaikan eksistensi mereka. Boy band Korea mulai memasuki pasaran Indonesia pada pertengahan tahun 2010 lalu.
            Dipungkiri atau tidak boy band asal Indonesia yang sekarang sedang naik daun bisa disebut sebagai salah satu korban demam boy band Korea.  Mereka adalah SM*SH, SM*SH adalah boy band asal Kota Kembang Bandung.  SM*SH yang memiliki arti Seven Man As Seven Hero ini mulai muncul pada  awal tahun 2011 ini. SM*SH beranggotakan 7 orang remaja, mereka adalah  Bisma Karisma, Morgan Oey, M. Reza Anugrah, Ilham Fauzi, Rangga Moela,  Rafael Tan, Dicky Prasetya.
             Diawal kemunculan mereka banyak sekali cibiran atau ejekkan yang datang  pada mereka, karena mereka digadang-gadang sebagai ‘flagiat’ atau  peniru boy band asal Korea SuJu (Super Junior). Pada saat ditanya awal  mula terbentuknya boy band ini, mereka mengatakan, pada awalnya mereka  hoby dan menyukai boy band asal Korea, lalu mereka mencoba untuk membuat  sebuah boy band dan terbentuklah SM*SH.
             Meskipun banyak cibiran yang menghinggapi mereka tetapi dari cibiran  itulah awal mereka terkenal di Indonesia. Selain dari kontroversi itu,  SM*SH juga eksis dengan lagu I Heart You yang menjadi single  pertama mereka, yang menjadi daya tarik dari lagu itu adalah pemasangan  kata-kata yang unik dan aneh seperti kata ‘cenat cenut’ di baris pertama lagu mereka. SM*SH yang awalnya selalu dicibir sekarang menjadi idola bagi para remaja di Indonesia,  kenapa tidak ? mereka yang memiliki wajah yang tampan menjadi salah  satu penyebabnya, dan para fans mereka dikenal dengan sebutan SM*SH  Blast.
             Dengan banyaknya cibiran yang datang pada mereka, akhirnya mereka  menciptakan sebuah lagu yang sangat mencerminkan perjalanan dan  perjuangan mereka untuk eksis di Indonesia. Lagu tersebut berjudul Senyum Semangat, dalam lirik lagu ini mereka menulis kata-kata seperti ‘tak pernah ku malu karena cibiran mu, ku jadikan motivasi untuk maju’ dari kalimat tersebut bisa kita simpulkan bahwa mereka tak pernah  mengambil pusing cibiran yang datang pada mereka, karena mereka hanya  ingin berkarya dan menghibur banyak orang.
             Pada beberapa tahun kebelakang memang boy band lokal sempat eksis  tetapi seiring dengan berjalannya waktu mereka akhirnya tergeser oleh  band pop, dan sekarang boy band kembali bermunculan di Indonesia dan  SM*SH bisa disebut sebagai pionirnya, karena dengan hadirnya SM*SH di  blantika musik Indonesia semakin meramaikan permusikkan di Indonesia.
2.    Korban Negatif
ü   Media Bisa Menginspirasi Kejahatan
            Media massa  cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku  kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa.  Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas  yang menonjol pada saat ini. Ade Erlangga Masdiana, kriminolog dari  Universitas Indonesia  menerangkan, media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas  perbuatan kriminal. Ia mencontohkan kasus-kasus pembunuhan disertai  mutilasi yang beberapa waktu lalu muncul berkali-kali.
             Berdasarkan catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008  terjadi 13 peristiwa pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia.  Angka itu tertinggi untuk periode tahunan, sejak kasus mutilasi muncul  tahun 1967. Sementara itu, pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa  mutilasi.
            Erlangga menjelaskan, mekanisme peniruan atau imitasi terjadi baik secara langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect). Pada anak-anak, media memberikan dampak langsung, seperti kasus tayangan smackdown di televisi. Bagi orang dewasa, dampaknya tertunda. ”Orang dewasa bisa  melakukan hal yang sama seperti di televisi ketika ia berada pada  kondisi yang serupa seperti peristiwa di televisi itu,”.
             Levi Siahaan, produser feature kriminal di sebuah stasiun televisi  swasta, mengatakan, tayangan kejahatan yang berlebihan memang bisa  menginspirasi. ”Berita kriminal menempatkan penjahat menjadi tokoh  sentral, dan seolah-olah menjadi sosok penting. Banyak reporter televisi  lupa akan fungsi edukasi media,” kata Siahaan.
             Dodo, reporter senior berita kriminal di sebuah stasiun televisi,  menambahkan, liputan dan tayangan berita kriminal sudah seperti  perburuan sensasi infotainment. ”Yang dicari hanya kehebohan. Dampak  pemberitaan kerap diabaikan,” kata Dodo.
             Pada kasus mutilasi, Sri Rumiyati (48) yang membunuh suaminya, Hendra,  mengaku memutilasi karena terinspirasi Ryan, yang memutilasi Heri  Santoso. Rumiyati lalu membuang sebagian potongan tubuh Hendra di dalam  bus.
             Analisis Erlangga cocok dalam kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Ny  Diah oleh Agus Naser, suaminya, di tahun 1989. Dalam sidang pada 2  Desember 1989, Agus mengaku memutilasi karena terinspirasi peristiwa  penemuan mayat terpotong 13 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, yang  tak terungkap.
             ”Ketika mulai panik mau dikemanakan mayat itu, tiba-tiba saya ingat  berita di koran tentang mayat terpotong 13 yang ditemukan di Jalan  Sudirman. Lalu terlintas pikiran, kalau mayat itu saya potong-potong,  tentu polisi sulit melacak,” tutur Agus dalam persidangan di PN Jakarta  Pusat (Kompas, 4 Desember 1989).[3]
             Peniruan atau imitasi (copycat) kejahatan itu menurut Erlangga, merujuk  pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde  (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses  meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar,  masyarakat pada akhirnya meniru”.
ü                  Televisi
Media massa yang memiliki efek paling kuat terhadap masyarakat dalam hal peniruan adalah televisi. ”Karena itu, tayangan rekonstruksi kriminalitas itu sebaiknya dihentikan karena sangat berbahaya. Televisi dan juga media cetak sebaiknya tidak lagi mengangkat pemberitaan kriminalitas secara detail.[4]
Media massa yang memiliki efek paling kuat terhadap masyarakat dalam hal peniruan adalah televisi. ”Karena itu, tayangan rekonstruksi kriminalitas itu sebaiknya dihentikan karena sangat berbahaya. Televisi dan juga media cetak sebaiknya tidak lagi mengangkat pemberitaan kriminalitas secara detail.[4]
            Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Bimo Nugroho, penulis Dead Media Society (2005), menyebutkan, ada hubungan erat kekerasan di tayangan televisi  dengan yang terjadi di kehidupan nyata. Ia menegaskan hal itu  berdasarkan hasil penelitian Leonard Eron dan Rowell Huesman terhadap  berbagai program tayangan kekerasan di televisi Amerika Serikat pada  akhir tahun 1990-an.
             Eron dan Huesman mengorek akibat media pada penonton anak-anak yang  tumbuh dari usia 8 tahun hingga 22 tahun kemudian. Hasilnya, tontonan  kekerasan yang dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong aksi  kriminalitas pada usia 30 tahun.
[2] http://www.scribd.com/doc/52189081/Tari-Jaipong
[3] http://www.sarapanpagi.org/media-bisa-menginspirasi-kejahatan-vt2423.html
 

 
 
No comments:
Post a Comment